KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Pengantar Ilmu
Sosial ini dengan judul “ ilmu Politik “. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi
tugas kelompok mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial. Prodi sosiologi antropologi.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Padang, 17 Oktober 2011
BAB II
PEMBAHASAN
ILMU POLITIK
- A. PENGERTIAN, KARAKTERISTIK, DAN RUANG LINGKUP POLITIK
Secara
etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis. Polis adalah
kota yang dianggap negara yang terdapat dalam kebudayaan Yunani dimana pada
waktu itu kota dianggap identik dengan negara sehingga dengan demikian polis
ialah tempat tinggal bersama dari orang-orang biasa selaku warganya (citizens)
dengan pemerintah yang biasanya terletak diatas bukit yang dikelilingi tembok
untuk menjaga keamanan mereka terhadap serangan musuh yang datang dari luar.
Dari istilah
polis dihasilkan kata-kata seperti : politeia (segala sesuatu
yang menyangkut polis atau negara, polites (warga negara), politikos
(ahli negara), politeike techne (kemahiran politik), polilieke
episteme (ilmu politik).
Sehubungan
dengan hal tersebut, timbul banyak istilah tentang ilmu politik, di Inggris
disebut sebagai “political science”, “the science of politics”, di
Jerman dikenal dengan istilah “staats wissenchaft, “les sciences politique”
(Prancis), “staatswetenscappen” (Belanda), dan “scienza politica”
di Italia.
Dengan
mengingat hal tersebut diatas, ternyata banyak sekali istilah bagi ilmu politik.
Oleh sebab itu George Jellinek dalam bukunya “Recht des modern states” menyatakan
bahwa ilmu politik amat sangat membutuhkan suatu peristilahan yang tepat dan
tidak meragukan.
Banyak regam
istilah bagi ilmu politik, disebabkan belum terdapatnya kesamaan pendapat
diantara para cendikiawan sehingga hal ini menimbulkan kekacauan istilah.
George Jellinak dan Kuntjoro Purbopranto mempunyai pendapat sama mengenai
masalah ini, mereka menyatakan bahwa ilmu politik sangat membutuhkan suatu
peristilahan yang tepat dan tidak meragukan, sehingga ada ketegasan dalam
pengguanaan istilah tersebut (Abu Daud, 1990: 8-11).
Menurut
Brendan O’Leary (2000: 78) ilmu politik merupakan disiplin akademis,
dikhususkan pada penggambaran, penjelasan analisis, dan penilaian yang sistematis
mengenai politik dan kekuasaan. Bagi kaum institusionalis atau institutional
approach seperti Roger F. Soltau (1961: 4), menyatakan bahwa ilmu politik
adalah kajian tentang negara, tujuan-tujuan negara, dan lembaga-lembaga yang
akan melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga
negaranya serta dengan negara-negara lain.
Ruang
lingkup disiplin ilmu politik kontemporer sangat luas. Menurut O’Leary (2000:
794) subbidang utama dari penyelidikan ilmu politik meliputi: pemikiran politik;
teori polotik; lembaga-lembaga politik; sejarah politik; politik perbandingan;
ekonomi politik; administrasi publik; teori-teori kenegaraan; hubungan
internasional.
- 1. Pemikiran Politik
Subbidang
ini merupakan akumulasi bangunan teks dan tulisan para filsuf besar yang
membingkai pendidikan intelektual kepada banyak mahasiswa ilmu politik.
Dintaranya karya-karya besar para pemikir sejak zaman Plato, Aristoteles, zaman
pertengahan dan awal moden karya-karya Aquinas, Agustine, Hobbes, Locke,
Rousseau, Montesquieu, serta buku-buku para penulis modern seperti Kant, Hegel,
Marx, Tocqueville, dan Mill (O’Leary, 2000; 788)
- 2. Teori Politik
Para ahli
teori politik biasanya memiliki gaya sendiri-sendiri, kendati memiliki ciri
umum yang bersifat normatif dalam orientasi teori politiknya yang telah lama
berevolusi. Sebagai contoh, menurut O’Leary (2000: 789), teori politik
Anglo-Amerika kontemporer, biasanya memilki citra rasa deduktif dan analisis.
- 3. Lembaga-Lembaga Politik
Merupakan
kajian terhadap lembaga-lembaga politik, khususnya peranan konstitusi,
eksekutif, birokrasi, yudikatif, partai politik, dan sistem pemilihan, yang
mula-mula mendorong pembentukan formal jurusan-jurusan ilmu politik di banyak
universitas pada akhir abad ke-19 (Miller, 2002: 790)
- 4. Sejarah Politik
Banyak para
ilmuwan politik yang menjelaskan tentang sejarah politik walaupun sering bias
terhadap sejarah kontemporer. Selain itu, secara garis besar politik cenderung
terbagi dua kubu :
- Hight politics (politik tinggi), yaitu cara mempelajari perilaku politik para pelaku pembuat keputusan elite, mereka percaya bahwa kepribadian dan mekanisasi para elite politik adalah kunci pembuat sejarah.
- Low politics (politik bawah), atau politik dari bawah. Mereka percaya bahwa perilaku politik massa memberikan kunci untuk menjelaskan episode-episode politik utama, seperti halnya beberapa revolusi yang terjadi.
- 5. Politik Perbandingan
Merupakan
asumsi dari para ilmuwan politik bahwa fokus perbandingan memberikan
satu-satunya cara untuk menjadi ilmu sosial murni.
- 6. Ekonomi Politik
Subbidang
ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa teori pelaku politik sebagaimana teori
perilaku ekonomi, harus bermula dari premis sederhana tentang manusia yang suka
membangun prediksi dari perilaku mereka.
- 7. Administrasi Publik dan Kebijakan Umum
Merupakan
cabang empiris dan normatif dari ilmu politik yang tumpang-tindih dengan hukum
dan ekonomi. Administrasi publik memusatkan perhatiannya pada susunan
institusional provinsi pelayan publik, dan secara historis berkenaan dengan
kepastian administrasi yang bertanggung jawab dan adil, sedangkan para ahli
kebijakan publik menganalisis formasi dan penerapan kebijakan-kebijakan, serta
memberikan manfaat normatif dan empiris terhadap argumen-argumen yang digunakan
untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan tersebut.
- 8. Teori Kenegaraan
Teori ini
sering diduga merupakan teori politik yang paling padu dalam memberikan
perhatian bagi teori politik kontemporer, pemikiran politik, administrasi
publik, kebijakan publik, sosiologi politik, dan hubungan internasional
(O’Leary, 2000: 794).
- 9. Hubungan Internasional
Subbidang
ilmu politik ini memfokuskan pada masalah-masalah yang menyangkut
organisasi-organisasi internasional, ekonimi-politik internasional, kajian
perang, kajian perdamaian, dan analisis kebijakan luar negeri.
Beberapa
kajian ilmu politik secara tematis yang berkembang dewasa ini demikian luas dan
banyak ragam antara lain sebagai berikut :
- a. Psikologi Politik (Political Psychology)
Merupakan
bidang interdisipliner yang relatif baru, dan lahir tahun 1950-an yang ditandai
dengan rapproachement-nya ilmu sosial, khususnya ilmu politik dan
pikologi. Adapum tujuan substansif dasarnya adalah untuk menyingkap saling keterkaitan
antara proses psikologi dan politik.
- b. Pluralisme Politik (Political Pluralism)
Kajian ini
adalah perspektif normatif dalam ilmu politik modern yang menekankan pentingnya
demokrasi dan kebebasan mempertahankan pluralitas organosasi-organisasi politik
dan ekonomi yang relatif otonom (Russel, 2000: 769)
- c. Budaya Politik
Istilah
budaya politik (politic culture) untuk pertama kali muncul pada tahun
1050-an (Almond, 1956), penelitian empiris substansialnya muncul pada tahun
1960-an. Pada umunya, konsep budaya politik berkaitan dengan “ketidakpuasan,
baik terhadap pandangan politik yang mengabaikan masalah-masalah makna dan
kebudayaan maupun terhadap pandangan kultural yang mengabaikan isu-isu politik
dan kekuasaan” (Welch, 1993). Menurut Bown (2000: 799), definisi budaya politik
pada umumnya dapat diklarifikasikan dalam dua kelompok definisi.
Definsi
kelompok yang pertama, kelompok yang membatasi cakupan budaya politik
pada orientasi subjektif bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok sosial atau
individual hingga politik. Kedua, kelompok yang memperluas konsep itu
sehingga meliputi pola-pola perilaku politik.
- d. Ekonomi Politik
Istilah
ekonomi politik (political economy), mulai digunakan secara umum pada
abad ke-18, yang dapat diartikan sebagai cara yang digunakan pemerintah untuk
mengatur perdagangan, pertukaran uang, dan pajak yang sekarang sering disebut
kebijakan ekonomi (Suttliffe,2000).
Perbedaan
antara ekonomi politik (ilmiah) dan ilmu ekonomi (vulgar) ini telah menjadi
konstanta dalam pemikiran ekonomi yang kritis, khususnya Marxis.
- e. Antropologi Politik (Political Anthropology)
Bidang ini
membahas perkembangan struktur politik masyarakat secara evolusioner, dari
kebiadaban melalui barbarisme menuju peradaban, muncul dari masyarakat kecil
menuju masyarakat politik berdasakan batas wilayah dan kekayaan, kajian tentang
subaltern, hubungan kepercayaan, kesenian dan kekuasaan, hubungan problematik
antropologi dengan kolonialisme, nasionalisme, pemberontakan petani, kelas dan
gender, bahkan hubungan kekuasaan dengan pengetahuan (Vincent, 2000: 778)
- f. Politik Etnik
Merupakan
bidang politik yang dapat dibangkitkan oleh ketidakpuasan sekelompok anggota
masyarakat yang terkonsentrasi dalam suatu daerah, dengan menuntut otonomi yang
lebih besar atas daerah kediaman mereka.
- g. Rekrutmen Politik
Kajian ini
meliputi melihat dan mempelajari peristiwa-peristiwa politik dengan cermat
tentang bagaimana para partisipan atau peserta sampai terakomodasi dalam suatu
keanggotaan institusi politik, dari mana asal mereka, dengan jalan apa saja,
gagasan-gagasan, keterampilan-keterampilan yang dipersyaratkan, dan
hubungan-hubungan yang mereka peroleh atau mereka korbankan.
- h. Partai Politik (Political Party)
Merupakan
suatu istilah yang sebenarnya sampai sekarang belum memiliki kata sepakat
tentang apa itu partai politik. Definisi yang paling awal muncul pada abad
ke-19 dan mungkin dapat disebut sebagai definisi terbaik, dimana partai politik
diartikan suatu organisasi yang berusaha memenangkan jabatan publik dalam suatu
persaingan di daerah pemilihan dengan satu atau lebih organisasi serupa
(Lijphart, 2000: 731).
- i. Perwakilan Politik (Political Representation)
Menurut
Tournon (2000: 919), sejarah representasi/perwakilan politik adalah sejarah
kebangkitan Eropa, melalui transformasi dari sovereign’s counxillors
‘kedaulatan para penasihat’ menjadi sovereign assembly ‘kedaulatan
majelis’.
- j. Birokrasi Politik (Bureaucratic Polity)
Kadang-kadang
birokrasi diartikan sebagai upaya efisiensi pemerintah, namun kadang-kadang
sebaliknya, yakni pelayanan pemerintah yang berbelit-belit. Walaupun kekaburan
ini tampak, namun masih dalam koridor permukaan yang tidak nyata.
- B. PENDEKATAN, METODE, TEKNIK, DAN ILMU BANTU POLITIK
- 1. Pendekatan
Kajian ilmu
politik dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan
pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang
menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung, bersifat
deskriptif anatik, menekan proses bersifat induktif, dan menurut W.R. Torbert
sering disebut sebagai collaborative inquiri (Tobert, 1981: 141-151).
Sedangkan pendekatan kuantitatif mencoba untuk memelihara diri mereka dari
pengaruh koleksi data.
- 2. Metode
Seperti
ilmu-ilmu sosial pada umumnya, dalam metode penelitian yang digunakan dalam
ilmu politik pun menyangkut metode induksi dan deduksi. Metode induksi adalah
serangkaian strategi ataupun prosedur penarikan kesimpulan umum yang diperoleh
berdasarkan proses pemikiran setelah mengkaji peristiwa-peristiwa yang
bersifak khusus atas dasar fakta teoritis yang khusus ke yang umum. Selanjutnya
menurut Iswara (1974: 57), Yang termasuk dalam metode induksi tersebut adalah
sebagai berikut:
- Metode deskriptif, adalah sebagai prosedur pengkajian masalah-masalah politik politik untuk memberikan gambaran terhadap kenyataan yang ada saat ini secara akurat.
- Metode analisis menekankan pada penelaahan secara mendalam terhadap masalah-masalah politis yang disusun secara sistematis dengan memperlihatkan hubungan fakta satu dengan lainnya.
- Metode evaluatif merupakan serangkaian usaha penelaahan fenomena politik yang bersifat menentukan terhadap fakta yang dikumpulkan dengan dasar pada norma-norma ataupun ide-ide yang abstrak.
- Metode klasifikasi adalah metode yang melandaskan pada penggolongan atau pengelompokan objek-objeknya secara teratur yang masing-masing menunjukan hubungan timbal balik.
- Metode perbandingan merupakan metode kajian politik yang menitikberatkan pada studi persamaan dan perbedaan atas dua objek telaahan, dengan maksud untuk memperdalam maupun menambah pengetahuan tentang objek-objek kajian politik tersebut.
Sedangkan metode
deduksi adalah sebaliknya dari metode induksi. Dalam menggunakan
metode ini merupakan serangkaian strategi ataupun prosedur dengan penarikan
kesimpulan dari keadaan umum ke yang khusus, dan biasanya penelitian yang
demikian banyak dilakukan dalam pendekatan yang kuantitatif (Supardan, 2004:
157).
Pada bagian
lain, Iswara (1974: 57) mengemukakan bahwa metode lainnya banyak digunakan
dalam kajian ilmu politik antara lain :
- Metode filosofis, metode ini digunakan untuk meneliti masalah-masalah politik langsung yang berhubungan dengan kehidupan politik yang diteliti secara abstrak-akademis-toretis.
- Metode yuridis atau legislatis, merupakan pelksanaan prosedur penelitiannya terhadap asas-asas legal secara yuridis.
- Metode historis, dalam metode ini penelitian ilmu politik didasarkan pada kenyataan-kenyataan sejarah.
- Metode ekonomis, dalam penelitian ini ilmu politik disangkutpautkan secara melekat dengan aspek-aspek ekonomi.
- Metode sosiologis, memandang bahwa dalam kajian politik, lembaga-lembaga politik dianalogikan sebagai fenomena sosial maupun organisme sosial.
- Metode psikologis, dalam penggunaanya kajian politik banyak menggunakan dalil-dalil psikologi sebagai acuannya.
Namun
demikian, berbeda dengan The Liang Gie (1999: 116) bahwa beberapa metode
penelitian ilmu politik yang paling banyak digunakan adalah metode-metode
sebagai berikut :
- Metode observasi, diartikan secara luas karena pengertian pengamatan tidak sekedar pengamatan langsung, tetapi juga dapat tidak langsung terhadap fenomena politik.
- Metode analisis, adalah suatu metode dengan serangkaian tindakan dan pemikiran yang disengaja untuk menelaah sessuatu hal yang secara mendalam ataupun terinci, terutama dalam mengkaji bagian-bagian dari suatu totalitas.
- Metode deskripsi, merupakan metode yang sangat mendalam memberikan gambaran politik terhadap kondisi realitas.
- Metode klarifikasi, secara umum metode ini menggambarkan adanya pengelompokan ataupun penggolongan objek kajian secara teratur untuk memudahkan pencarian adanyan hubungan timbal balik.
- Metode pengukuran, merupakan metode untuk mengidentifikasi besar kecilnya objek atau fenomena yang diteliti, baik yang menggunakan alat khusus maupun tidak.
- Metode perbandingan, merupakan metode yang dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari dua peristiwa politik, negara, kelompok, atau lebih.
- 3. Teknik
Teknik yang
banyak digunakan dalam ilmu politik sebenarnya banyak ragamnya, seperti
field work, investigation, questionare, sampling, interview, opinionnaire, participant
observer, schedule, direct obsevation, case study, dan action research.
- 4. Ilmu bantu
Adapun
beberapa ilmu bantu yang digunakan fdalam kajian politik diperlukan sekali
peran dan kontribusi dari berbagai ilmu sosial lainnya, seperti sejarah,
filsafat, sosiologi, antropologi, ekonomi, psikologi sosial, geografi, serta
hukum (Budiardjo, 2000: 17-28).
- a. Sejarah
Sejarah
sangat diperlukan dalam ilmu politik mengingat sejarah memberikan fakta masa
lampau untuk dikaji lebih lanjut.
- b. Filsafat
Filsafat
juga berperan dalam ilmu politik, terutama filsafat politik, yaitu suatu bagian
dari filsafat yang mengungkap kehidupan politik, seperti sifat hakiki, asal
mula nilai dan negara.
- c. Antropologi
Antropologi
merupakan ilmu bantu dalam ilmu politik. Hal ini mengingat antropologi
memberikan kontribusi besar dalam pengertian dan teori tentang kedudukan serta
peranan satuan sosial budaya yang lebih kecil dan sederhana.
- d. Sosiologi
Sosiologi
banyak membantu usahanya memahami latar belakang, susunan dan pola kehidupan
sosial dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat.
- e. Psikologi Sosial
Dalam hal
ini, psikologi sosial menitikberatkan pada hubungan timbal balik antara manusia
dan masyarakat, khususnya faktor-faktor yang mendorong manusia untuk berperan
dalam ikatan kelompok atau golongan.
- f. Ilmu Ekonomi
Pada masa
silam, ilmu politik dan ilmu ekonomi merupakan suatu bidang ilmu tersendiri
yang dikenal dengan eknomi politik (political economy), yaitu pemikiran dan
analisis kebijaksanaan yang hendak digunakan untuk memajukan kekuatan dan
kesejahteraan.
- g. Ilmu Hukum
Sejak dahulu,
terutama di Eropa Barat ilmu hukum dan politik memang sudah demikian erat.
- h. Ilmu Geografi
Faktor-faktor
yang memengaruhi politik, seperti lokasi (location), perbatasan
strategis (strategic frontiers), desakan penduduk (population
pressures), dan derah pengaruh (sphere of ifluence) dibahas dalam
geografi.
- C. TUJUAN DAN FUNGSI POLITIK
Adakalanya
dipersoalkan apakah ilmu politik merupakan suatu ilmu pengetahuan atau tidak,
dan disangsikan apakah ilmu politik memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan.
Umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan
disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya
secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum ilmiah inilah yang
merupakan tujuan dari penelitian ilmiah.
Dalam hal
ini politik dipandang sebagai ilmu. Ia menilai politik dari sisi
intelektual dengan pertimbangan kritis serta memiliki kriteria yang
sistematis. Jika para politisi memandang politik sebagai pusat kekuasaan
publik, kaum intelektual memandang politik sebagai perluasan pusat moral dari
diri.
Dalam
beberapa hal, ilmu politik memiliki sifat ambigu, mendua, dan paradoks. Dalam
ilmu politik terkandung rasa campuran antara ingin tahu, menarik, jijik,
bernafsu, serakah dan sifat-sifat positif bergalau dengan negatif. David Apter
dalam bukunya yang berjudul Introduction to politicial analysis, menganalogikan
ilmu politik dengan seks (Apter, 1996:5). Sebagaimana seks, politik menjadi
suatu pokok kajian yang dihindari dalam masyarajat yang sopan. Akan tetapi,
sebagaimana kita butuh akan keindahan, kemesraan, kesenangan, kekuasaan dan
keagungan sebagai pemimpin dan penakluk di muka bumi ini, kita pelrlu tahu dan
merasakan hal-hal yang terlarang pada suatu masalah, kita pun membutuhkan kontroversi
dari masalah lain. Tidak aneh jika mempelajari ilmu politik membangkitkan
perasaan-perasaan yang mendalam, seperti rasa cinta, setia, bangga, sekaligus
rasa jijik, benci, malu dan marah.
Kita telah
menciptakan lembaga-lembaga tertentu untuk mengendalikan dan menyalurkan nafsu
itu, di antaranya yang satu dalam kehidupan keluarga dan kekerabatan, yang lain
dalam kekuasaan yang terorganisir. Kedua tipe itu menunjukan suatu
kesinambungan rumpun manusia dan keseimbangan komunitas. Keduanya adalah sesuatu
yang pokok dalam kehidupan yang terorganisasi, namun di satu sisi pun punya
arti yang kabur dan mudah disalahgunakan.
Sebagai
sebuah disiplin ilmu, ruang lingkup ilmu politik lebih luas dan umum dari pada
ideologi apapun. Akan tetapi, secara khusus untuk memahami nilai-nilai
demokrasi, hal itu begitu tampak, terutama di Amerika serikat dan negara-negara
barat yang mengunggulkan cita-cita demokrasi dalam praktik-prakrik kelembagaan.
Setidaknya secara umum terdapat tiga makna tujuan mempelajari ilmu politik yaitu
:
- 1. Perspektif Intelektual
Sebagaimana
kita maklumi bahwa sebenarnya tujuan politik adalah tindakan politik. Untuk
mancapainya, diperlukan pembelajaran untuk memperbesar kepekaan pembelajar
sehingga dapat bertindak. Agar dapat bertindak dengan baik secara politik,
orang perlu mempelajari asas dan seni politik dan nilai-nilai yang dianggap
penting oleh masyarakat, seperti bagaimana nilai-nilai diwujudkan dalam
lembaga-lembaga, serta taktik ataupun strategi apa yang digunakan untuk
bertindak? Dengan demikian, orang belajar bagaimana kekuasaan dapat dijinakan
oleh prometheus, dan diabdikan kepada tujuan manusia yang posotif. Sebagai
contoh, Plato dan Aristotoles di akasemi-akademi Yunani, dan juga mereka sangat
terlibat dalam politik prakris. Begitu pun sebelumnya, Socrates sebagi lambang
guru politik yang aktif, ia meninggal karena tekanan-tekanan praktis
penguasa politik yunani kuno.
Dalam
pembelajarannya pun sudah mengenal metode yang bersifat kritis. Tujuannya tidak
lain adalah untuk menelaah kesalahan-kealahanan yang dibuat oleh para penguasa
dan berusaha untuk mengurangi ketidaktahuan dari mereka yang dikuasai. Walaupun
ajaran kritis tersebut pada prinsipnya bersifat intelektual, tetapi dapat
menimbulkan hal-hal yang bersifat praktis. Itulah sebabnya mengapa tradisi
intelektual dapat dengan mudah menjadi subversif terjadap penguasa dan
merangsang timbulnya perdebatan politik. Dengan demikian, tidak dapat dihindari
bahwa pembelajaran politik bersifat politis, dan guru-guru politik merupakan aktivis.
Jadi, perspektif intelekyual dalam politik adalah perspekti yang mempergunakan
diri sendiri sebagi titik tolak. Sebab perspektif itu bertolak dibangun
berdasarkan apa yang dianggap salah oleh individi maka pemikiran individu itu
yang memperbaikinya.
- 2. Perspektif Politik
Maksudnaya
adalah bahwa pandangan intelektual mengenai politik tidak banyak berbeda dengan
pandangan politisi. Bedanya dengan polotisi lebih bersifat “segera”(yang ada
kini dan ada di sini, dari pada hal-hal yang teoritis) sedangkan intelektual
dapat menjadi politisi jika ia mampu mamasukan masalh politik dalam pelayanan
suatu kepentingan ataupun tujuan. Sebagai contoh, sebuah kasus dengan adanya
sistem pemilihan langsung di Indonesia, banyak intelektual yang bersedia
menjadi anggota calon legislatif dan eksekutif pusat dan daerah. Dengan
kampanye yang bergaya “orator mendadak” dalam aktu singkat mereka mempersiapkan
dan menggunakan strategi itu dari yang biasanya sangat teoritis mandadak
berubah kedalam suatu kerangka kerja yang bersifat praktik. Hal itu mirip
dengan apa yang dinyatakan Robert Dahl (1967: 1-90) bahwa dalam waktu singkat
mereka telah menjadi politisi.
Singkatnya,
dunia politisi adalah dunia hari ini dan hari esok dekat, sedangkan kaum
intelektual manaruh perhatian dalam tiga dimensi, yaitu hari kemarin, hari ini
dan hari esok. Keputusan-keputusan dari politisi diuji dalam kenyataan
tanggapan publik yang keras. Suara lebih dahulu, sedangkan asas belakangan.
Jika tujuan pertama politisi adalah memperoleh kekuasaan maka kaidah kedua
adalah mempertahankan kekuasaan. Tidak usah heran jika sebagian politisi,
termasuk yang terbaik dan tercerdik sekalipun sering melakukan hal-hal yang
mengerikan. Karena itu, tidak usah heran pula jika politisi adah orang yang
dapat diperoleh dari kekuasaan (Apter, 1996:20)
- 3. Perspektif Ilmu Politik
Dalam hal
ini, politik dipandang sebagai ilmu, Ia menilai politik dari sisi intelektual
dengan pertimbangkan kritis serta memiliki kriteria yang sistematis. Pendirian
ini memandang terhadap kebuuhan ke depan, untuk meramalkan akibat tindakan
politik maupun kebijaksanaan para politisi. Jika para politisi memandang
politik sebagai pusat kekuasaan publik, kaum intelektual memandang politik
sebagai perluasan pusat moral dari diri. Dengan demikian, politik sebagai ilmu
menaruh perhatian pada dalil-dalil, keabsahan, percobaan, hukum, keragaman dan
pembentukan asas-asas yang universal. (Apter, 1996:21).
Tentu saja
ilmuwan politik profesial memandang politik sebagai suatu sistem sebagai
perubah terorganisasi yang saling berinteraksi. Sistem itu meliputi pemerintah,
partai politik, kelompok kepentingan, kebijaksanaan, termasuk
individu-individu. Baik intelektual maupun politisi dapat saja meragukan,
apakah politik itu ilmu? Sebab sebagian besar dari mereka berasumsi bahwa
politik itu seni. Politik dapat memiliki dampak terbaik, bahkan terburuk kepada
rakyat. Disatu sisi, politik pun menyerupai agama dalam beberapa aspirasinya,
dan mirip tindakan kejahatn dalam sebagian kegiatannya, seperti licin, curang dan
serakah.
Menurut Loe
Straus (1959:10-12) dan Sheldon Wolin(1960:10-12), tugas ilmu politik adalah
untuk mendapat kearifan tentang sifat-sifat manusia dan politik. Dengan
demikian, mengerjakan teori politik melibatkan pembelajaran untuk membaca
karya-karya klasik agar orang dapat secara efektif membedakan antara apa yang
semata-mata opini dengan pengetahua autentik. Disisi lain, Wolin berpendapat
bahwa studi teori poltik terbaik dipahami sebagai sebuah wacana reflekrif
mengenai makna politik. Sebagai sebuah dialog antara para filsuf, ilmu politik
perlu memperjelas hubungan antara kesinambungan dan perubahan dalam kehidupan
politik.
Kemudian
muncul pendapat serupa yang lebih mutakir menyempurnakan pendapat Straus dan
Wolin adalah Robert Flower dan Jeprey Orenstein (1985:2) yang mengemukakan
bahwa ilmu politik, terutama teori-teori politik melibatkan refleksi
konsep-konsep politik dasar, analisis pendangan-pandangan alternatif tentang
manusia dan politik, serta pengejaran kebenaran normatif tentang sifat-sifat
rezim terbaik. Pendapat serupa dikemukakan Dante Germino (1975:229-281) yang
menunjuk pada sifat upaya teritis yang seedang berlangsung sebagai sebuah
percakapan dari banyak suara(yang merupak sebuah dialog) antara orientasi yang
berbeda menuju reakitas politik sebagai suatu keutuhan. Ditinjau dari sisi kain
maka filosofi politik adalah kegiatan yang kreatif dan kritis di mana setiap
generasi dapat berpartisipasi dalam tradisi berkelanjutan yang menyatukan masa
kini dan masa lalu.
Menurut John
Nelson dalam tulisannya natures and futures of political theory (1983:3-24)
bahwa tujuan teori poitikdapat digambarkan menjadi tiga C yakni compehend
(memahami), conserve (memelihara), dan critisize (mengkritik). Termonologi
comprehend merujuk pada dua tujuan berupa penjelasan dan pemahaman. Mengingat
teori-teori politik memberikan suatu kosakata konsptual bagi penggambaran dan
perhitungan ciri-ciri terpenting kehidupan politik. Singkat kata teori politik
mengeksplorasi fenomena-fenomena lewat analisis politiknya. Kemudian, conserve,
menunjuk kepada studi sejarah pemikiran politik mambantu pemeliharaan suatu
warisan budaya Sedangkan critisize pada hakikatnya menggarisbawahi fakta bahwa
teori menganalisis dan mengevaluasi, baik argumen-argumen teoriris maupun
fenomena-fenomena politik.
Para
teroritisi harus menyadari bahwa mereka bukanlah dan tidak selalu hidup sebagi
filosofi murni, tidak pun hidup dalam atmosfer tipis penuh abstraksi. Hal itu
relevan, sebagaimana telah dikemukakan Menyamin Barber”Politik tetap merupakan
susuatu yang manusia lakukan bukannya sesuatu yang miliki…. atau lihat atau
bicarakan atau pikirkan. Mereka yang akan melakukan sesuatu dengannya harus
lebih dari sekedar berfilosofi dan filosofi yang secara politik mudah dipahami
harus mengambil tindakan politik sepenuhnya dari politik sebagai sebuah sikap”.
- D. SEJARAH PERKEMBANGAN POLITIK
Lahirnya
ilmun politik secara formal memang sejak abad ke-19, namun sangat beragam dari
mana memulai lahirnya ilmu politik itu. Secara embrio yang lebih luas dan secara
originalitas, pembahasan tentang negara sudah ada sejak 450 SM di Yunani kuno.
Seorang ahli sejarah Herodotus (480-430 SM), maupun filsu-filsuf ternama Yunani
seperti Plato (427-347 SM), karya-karyanya Politeia (tentang politik), Kriton
(tentang ketaatan terhadap hukum, dan Aristoteles (384-332 SM) sudah banyak
berbicara tentang filsafat politik. Begitu pula filsuf Cina kuno kung
Fu-Tze/Confucius (551-479 SM), Meng Tze (Mencius), dan Li-Tze (350 SM) seorang
aliran perintis legalitas telah banyak berbicara tentang politik.
Filsafat
politik tidak berawal dari ilmu pengetahuan, melainkan bertolok dari pemakaian common
sense (akal sehat) dalam tujuan-tujuan manusia. Saat dan urutan peristiwa
merupakan suatu bentuk penjelasan, suatu cara menyusun atau merasionalkan
perkembangan masyarakat. Mulailah paradigma rasional menggantikan pandangan
dunia yang lebih irasional dan mistik yang hidup sebelumnya, suatu pandangan
dalam (dewa-dewa), seperti Zeus (leluhur yang bergairah), Hermes (leluhur yang
penipu), Athena (leluhur yang berpengetahuan), dan sebagainya, dapat melakukan
tindakan kekerasan maupun bermain cinta (Apter, 1996: 49).
Socrates
(469-399 SM), orang pertama yang menyadari bahwa ilmu alam tidak memberikan
penjelasan memadai untuk penalaran atas tingkah laku manusia. Karena itu, wajar
jika dalam ilmu pengetahuan kuno belu mampu memberikan rumusan teori. Begitu
pun dalam ilmu politik, rasionalitas bukannya menjadi sesuatu yang bersifat
deduktif, melainkan untuk memperoleh suatu kualitas moral. Munculnya slogan
“filsafat politik dibatasi etika” bahkan merupakan ilmu pegetahuan tertinggi.
Hal itu sebagai wujud filsafat politik merupakan pokok soal yang lebih penting.
Itulah
sebabnya pada dekade ini, politik merupakan suatu fungsi antara penguasa dan
yang dikuasa, baik itu pemerintah yang dijalankan satu orang (raja, diktator,
otokrat, tiran), ataupun beberapa orang (oligarki, yunta, dan elite), atau
banyak orang (para pemilih). Paradigma waktu itu yang terpenting adalah
bagaimana untuk mencari keselarasan atau keseimbangan antara
penguasa dan yang dikuasai.
Lain lagi
dengan zaman Plato (427-347 SM), seorang murid Socrates yang pernah mengajarkan
bahwa kebajikan berisi pengetahuan mengenai hal-hal yang baik, karena itu
maslahnya adalah membangun suatu negara yang didalamnya semua orang tertarik
pada kebajikan. Selain itu, Pythagoras (528-507 SM) pun mengajarkan Plato bahwa
kebajikan itu abstrak dan bahwa pengetahuan mengenai yang abstrak adalah lebih
nyata dari pada pengetahuan mengenai hal-hal yang berwujud dalam dunia empiris
atau indrawi (Losco dan William, 2003: 151-153). Plato sangat percaya bahwa
bentuk-bentuk abstrak merupakan dasar keabadian manusia.
Suatu
pukulan batin yang Plato rasakan ketika ia berusia 31 tahun, athena telah
menjatuhkan hukuman mati terhadap Socrates. Ia merasa hancur, kemdian Plato
menjadi pengembara, berkelana ke Mesir, Sisilia, dan tempat lain. Sekembalinya
dari Athana, ia mendirikan sebuah akademi pengetahuan, bahkan Aristoteles pun
pernah belajar disitu. Kematian Socrates menunjukan kepada Plato bahwa tidak
mhanya pentingnya pengetahuan yang tidak terkekang, tetapi juga perlunya
pendidikan publik. Ia memandang pendidikan harus menjadi pembelajaran hal-hal
yang benar yang membuat orang lebih bijaksana.
Kebesaran
Plato bagi kita bukan terletak pada kesegaran visinya atau pada teorinya
mengenai meritokrasi walaupun hal itu memang penting, maupun tentang
teori ide, tetapi lebih pada kenyataan bahwa teorinya merupakan teori pertama
mengenai negara ideal (Apter, 1996: 58).
Berbeda
dengan Aristoteles (384-322 SM), walaupun dia mengakui gurunya Plato, tetapi
secara fundamental baik semangat maupun kepribadiannya jelas berbeda.
Aristoteles menerima model Plato, tetapi mengubah fokusnya. Bukannya
membayangkan suatu struktur konsep geometris un tuk diterapkan pada
masalah-masalah sosial, tetapi ia berusaha menyeimbangkan kebutuhan logis untuk
etika dengan suatu pandangan yang lebih praktis mengenai dunia nyata.
Aristoteles meragukan kebaikan orang-orang bijak dengan menyukai suatu
pemerintahan berdasarkan hukum (d’Entreves, 1967: 69-81). Ia tidak banyak
berilusi dengan politik. Hal yang paling dapat diharapkan oleh orang banyak
adalah kebahagiaan dan bijaksana.
Berbeda jika
dibandingkan dengan paradigma teokratis, dimana ide hukum alam ke hukum-hukum
manusiawi. Dalam dunia Romawi, hakim menggantikan filosof raja. Akan tetapi,
dunia kristen menampilkan kembalinya kepada pandangan dunia agama. Dalam hal
ini, hakim-hakim dapat menjadi suci maupun sekuler serta pendeta atau raja.
Santo
Agustinus (354-430) adalah tokoh pertama yang menegaskan politikusme teokratis
ini yang bertolak dari masyarakat yang baik sebagai Kota Tuhan, menuju Kota
Manusia dimana ada neraka, surga, serta setan sebagai personifikasi perjuangan
individual antara kebaikan dan keburukan. Kemudian ia menuju ketaatan Hukum
Positif, dimana merupakan gabungan hukum alam yang berasal dari Yunani dan
Romawi serta wahyu yang diperoleh dari kepercayaan Kristen.
Pada akhir
Abad Pertengahan, dua prinsip penting yang muncul mendorong transisi ke masa
pencerahan (enlightenment) yang dimulai pada abad ke-16.
- Bahwa penguasa atau raja merupakan wakil rakyat, dengan lingkup kekuasaan yang ditentukan oleh konstitusi yang sifatnya terbatas.
- Bahwa komunitas politik bukan terdiri dari hak-hak pribadi semua individu, melainkan hak-hak dewan perwakilan.
Dalam hal
ini, terdapat beberapa peristiwa penting, diantaranya kemenangan kerajaan atas
gereja dalam perjuangan besar antara raja dan paus. Kemudian ketika visi
sintesis paham Kristen pada Abad Pertengahan yang dominan merosot, para
penguasa menjadi asyik untuk mempertahankan kekuasaan yang menjadi tujuan dalam
dirinya sendiri.
Tokoh utama
dalam masa transisi ini adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527). Dialah yang
merasa jemu dengan pertengkaran-pertengkaran doktrin, ia membuka jalan bagi
pemikir kekuasaan yang sekuler.
Machiavelli
percaya bahwa rezim-rezim yang masuk memiliki dua tipe, yaitu “kepangeranan” (principality)
dan “republik”. Dalam The Prince, ia memberikan nasehat tentang bagaiman
mendapatkan dan mempertahankan sebuah kepangeranan. Untuk melakukannya, seorang
penguasa bijak hendaknya mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan
kebutuhan, kejayaan, dan kebaikan negara. Bagi Machiavelli, kejayaan, baik
pangeran maupun republik merupakan ambisi politik difinitif yang dikejar dalam
batas-batas yang ditentukan oleh akal, kearifan, nasib baik dan kebutuhan
(Losco dan William, 2005: 562).
Jika
Machiavelli menandai gerakan menjauhi filsafat agama sebagai suatu dogma
politik dan membukakan jalan kepada dua penerus cemerlang. Pertama
adalah Thomas Hobbes (1558-1674), filsafat materialismenya merupakan jembatan
yang menghubungkan ilmu pengetahuan dan mekanika, serta yang logikanya sama
bagus dan rapuhnya seperti logika lain yang dapat ditemukan dalam pemikiran
politik. Kedua adalah Jean Jaques Rousseau, tokoh yang berusaha
mendefinisikan kembali kepribadian moral dalam komunitas moral (Apter, 1996:
78-79). Hobbes merupakan orang yang pertama yang dapat mendefinisikan dan
mengubah kepentingan pribadi dalam keuntungan publik (Apter, 1996: 80). Hobbes
memiliki semboyan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi
sesamanya). Mengingat pada dasarnya manusia hanya memikirkan kepentingan diri
sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak
milik. Dalam hal ini diperlukan seorang hakim yang berdiri diatas semua hukum.
Perbedaan
Locke dan Hobbes sangat tajam. Locke memandang keadaan alamiah bukan sebagai
suatu kondisi perang, melainkan sebagai suatu kondisi yang ramah, tetapi
keduanya adalah sekuler. Ia menganggap gereja sebagai tidak lebih dari suatu
asosiasi sukarela. Ia pun meyakini bahwa pada efek-efek yang baik dari harta
pribadi adalah pemilikan yang merupakan satu bentuk jaminan bahwa orang akan
bersikap wajar dan bekerja sama satu sama lain. Sekulerisme Locke mendorong ia
menyerang, baik doktrin mengenai hak-hak raja yang berasal dari tuhan maupun
argumen tentang ketuhanan yang digunakan oleh raja-raja absolut untuk
nmelegitimasi pengguanaan kekuasaan yang tidak terbatas.
Hal itu
sedikit berbeda dengan Montesquieu (1689-1755) yang tertulis dalam bukunya
Spirit of the Laws, menjelaskan bagaimana evolusi berbagai bentuk perdagangan
dalam dunia kuno memengaruhi sistem politik (Montesquieu, 1949:316-402).
Montesquieu menolak teori-teori psikologis yang dikemukakan Machiavelli dan
Hobbes yang beranggapan bahwa manusia pada dasarnya “bajingan, licik, tamak,
berhawa nafsu….lebih siap untuk mengampuni pembunuh ayahnya ketimbang perampas
hartanya”, seleranya tidak pernah puas, kepuasannya sedikit (Alen, 1928: 221).
Montesquieu berpendapat bahwa manusia tidak seburuk seperti itu. Akan
tetapi, merekapun tidak sebaik seperti yang ditunjukan oleh Rousseau meupun
Locke. Apa pun sifat manusia, kebebasan individu merupakan dasar kesejahteraan (Montesquieu,
1949:5). Baginya bahaya terbesar adalah konflik antarbangsa atau perang.
Dalam
pendapatnya yang banyak dianut hingga kini bahwa negara yang cocok untuk
memaksimalkan kebebasan dan menyeimbangkan persamaan adalah negara dimana
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif pemerintah perlu dipisahkan
sendiri-sendiri, hingga hukum sipil dapat dibuat menurut kebutuhan semua bagian
masyarakat.
Jean Jacques
Rousseau (1712-1778), seorang pengarang, filsuf politik, dan komponis Prancis
yang hijrah ke Genewa. Ketenaran Rousseau mulai terjadi tahun 1750, ketika ia
memenangakan Sayembara Akademi Dijon untuk esai berbait yang bertajuk:
“Apakah kebangkitan ilmu ikut andil dalam memperbaiki perilaku?” Pada tahun
1754, ia menulis Discours sur I’origine et les fondements de I’inegalite
parmi les homes, isinya berupa pujian terhadap negara alamiah; dan
berpendapat bahwa hilangnya negara demikian itu setelah munculnya hak milik
pribadi (Shadily, 1984: 2948). Kemudian tahun 1776, Rousseau sekaligus menulis
dua buku Du Contrat Social ou Principes de Droit Polique dan Emile ou de I’
Education. Khusus buku yang pertama sering dikenal The Social Contract.
Rousseau
berpendapat bahwa kebebasan dan persamaan merupakan tujuan-tujuan masyarakat
terpenting, meskipun ia meragukan kemungkinan persamaan sempurna itu. Perbedaan
Locke dan Rousseau, ia menganggap betapa pentingnyapersamaan bagi manusia dan
menekankan akibat-akibat yang diabaikan oleh Locke, dimana ketimpangan
menghasilkan ketidakadilan dan dasar-dasar ketidakserasian. Inilah yang harus
dipecahkan persoalanyya melalui kontrak sosial (Rousseau, 1948: 109).
Pada abad
ke-19, penolakan hukaum alam terjadi. Jeremy Bethem (1748-1832) membentuk teori
formal tentang reformasi sosial. Dalam bukunya yang berjudul Principles of
Moral and Legislation (1870), Betham mengemukakan Prinsipnya dalam
perubahan perundang-undangan berdasarkan semboyan “bahagia terbesar
sebanyak-banyaknya manusia”.
Doktrin
tersebut sangat memengaruhi pikiran David Ricardo (1772-1823) dan John Stuart
Mill di bidang ekonomi dan memengaruhi Revolusi Prancis.
Konsep Mill
tentang individualisme adalah konsep tipikal dari liberalisme abad ke-19, namun
demikian ia bukan seorang individualis yang ekstrim. Meskipun pemenuhan diri
manusia ditekankan dalam semua karya-karyanya, tetapi pemenuhan ini harus
selalu terjadi dalam konteks kebaikan umum.
Salah
seorang filsuf idealisme yang terkenal adalah filsuf Jerman, yakni Georg
William Friedrich Hegel (1770-1831). Karya-karya terpentingnya adalah tiga buku
ternama yaitu, Science of Logic (1816), Pholosofy of Right (1821),
dan Philosofy of History (1837), dan judul yang ketiga inilah yang
paling berpengaruh terhadap teori politik pada masa itu.
Berbeda
setelah zaman Hegel, Eropa pada saat itu dipengaruhi oleh Sosialisme. Tokoh
Sosialisme yang paling terkenal adalah Karl Marx (1818-1883). Karl Marx
menawarkan doktrin sosialisme ilmiah pada dunia. Beberapa aspek dari doktrin
yang terkait dengan perkembangan teori politiknya tertuang dalam karyanya yang
terkenal Das kapital.
Salah satu
alasan mengapa Marx menjadi tokoh yang begitu penting ialah karena ia mewakili
suatu campuran intelektual yang berhasil dalam ekonomi, politik, dan
sosial, yang memandang dunia dengan perasaan dingin serta mencari suatu masa
depan yang lebih bermoral dan lebih bebas bagi manusia, dengan mengembangkan
suatu teori tentang perkembangan sosial secara alamiah, seperti dialektika
materialisme.
Setelah Marx
meninggal, warisan radikal menjadi terpecah belah. Pertama tradisi Lenin, yang
memandang perlunya transformasi militan dari kapitalisme yang paling lemah di
pinggiran sampai ke pusat. Kedua, pemikiran Marx yang lebih demokratis bahwa
transisi revolusioner dapat terjadi melalui cara-cara parlementer, melalui
revisionisme.
Pada abad
ke-20 muncul paham-paham baru diantaranya:
- 1. Paham Tingkah Laku (Bevioralisme), mengalihkan perhatiannya dari lembaga pengkajian mengenai bagaimana orang bertingkah laku dan apa yang mendorong tingkah laku mereka.
- 2. Paham Kemajemukan, yang menekankan perpaduan antara kelembagaan dan tingkah laku, lebih menaruh perhatian pada bagaimana diferensiasi dan partispasi sosial memperluas lingkungan politik.
- Paham Struktural, menekankan pada agenda tersembunyi dibelakang politik, fokusnya terhadap teori pertukaran analisis peran, analisis peran, analisis Marxis, fungsionalis, dan linguistik.
- Paham Developmentalisme (perkembangan), Mmenekankan perhatiannya pada masalah-masalah transisi pertumbuhan dari jenis sistem politik lama ke yang baru, dan bagimana inovasi-inovasi itu terjadi, efek-efeknya, distribusinya, munculnya negara-negara baru, nasionalisme yang berjuang melawan kolonialisme, siapa yang memperoleh manfaat, dan sebagainya (Apter, 1996:13-14).
- E. MAHZAB-MAHZAB POLITIK
Dalam
pengelompokan mahzab-mahzab ilmu politik, menurut Apter (1996: 135-443),
terbagi atas 5 mahzab institusionalisme atau kelembagaan, behaviorisme,
pluralisme atau kemajemukan, dan developmentalisme.
- Paham Institusionalisme atau Kelembagaan
Paham ini
berusaha mewujudkan pemecahan-pemecahan universal dengan menerjemahkan
cita-cita libertarian ke dalam pemerintahan perwakilan. Bagi para penganut
paham kelembagaan, teori-teori politik libertarian timbul dari sejarah sebagai
tujuan moral yang akan dimantapkan di dalam praktik politik. Inilah tradisi
yang dibangun Plato, dan juga yang diwakili Karl Marx. Kebanyakan pengikut
paham kelembagaan yang mengikuti tradisi Pencerahan, ia menolak pemecahan-pemecahan
tuntas seperti ini. Bagi mereka, politik adalah terbuka. Konflik diubah menjadi
persingan damai melalui badan-badan perwakilan dalam pemerintahan (Popper,
1945).
Kekuasaan
adalah kekuatan yang dapat dipakai dan dikendalikan. Kekuasaan merupakan dasar
politik. Dalam demokrasi, pemakaiannya harus sesuai dengan patokan-patokan
kewajaran atau keadilan. Hal ini selanjutnya dalam hukum.
Selanjutnya,
lembaga-lembaga pemerintahan ini terbagi dalam tiga wewenang yang merupakan
perhatian utama kaum institusionalis, yaitu sebagai berikut.
- Badan Legislatif
Badan ini
merupakan pengawas terpenting terhadap kekuasaan yang nyata maupun potensial.
Badan ini terdiri atas wakil-wakil rakyat. Semua pemberlakuan hukum harus
disetujui oleh badan legislatif ini, namun sangat sedikit kebijaksanaan berasal
langsung dari inisiatifnya (Apter, 1996: 145).
- Badan Eksekutif
Badan
eksekutif pemerintah ini bertanggungjawab sesuai dengan makna yang
terkandung dalam namanya,yaitu melaksanakan keinginan –keinginan rakyat .
Dalam system demokrakasi ,eksekutif bertindak atas mana rakyat.
- Badan Yudikatif
Pemerintah
memang rumit. Dengan adanya yurisdiksi-yurisdiksi kekuasaan
yang dibatasi konstitusi dalam hal mana mereka harus saling berhubungan
dalam urusan pembuatn kebijaksanaan,selalu ada kemungkinan terjadinya
pelangagran konstitusi. Jika demikian halnya,diperlukan adanya pengadilan
tinggi yang berfungsi sebagai wasit agung untuk masalah – masalah penafsiran
konstitusional . Pengadilan tinggi semacam itu mewakili asas mengenai lembaga
yudikatif agung yang independen.
- Paham Behavioralisme
Komitmen
kepada kebudayaan politik yang demokrasi membutuhkan perantara kepentingan dan
kebijaksanaan yang baik secara efektif. Di sinilah para penganut paham tngkah
laku ( behavioralisme ) memelingkan perhatiannya dari sistem
–sistem politik ,khususnya pengaturan –pengaturan hokum dan
konstitusional untuk mengamati tindakan politik individual (apter dan andrian
1972: 14-28;459-484). Dengan demikian, perhatian utama paham tingkah laku
tersebut terletak pada hubungan antara pengetahuan politik dengan tindakan
politik,termasuk bagaimana proses pembentukan pendapat politik,bagaimana proses
pembentukan pendapat politik diperoleh ,dan bagaimana cara orang
menyadari peristiwa –peristiwa politik . kategori –kategori itu biasanya
dianggap sebagai ideologi ,atau system kepercayaan yang menciptakan pola – pola
tingkah laku yang penuh makna (apter,1996;210)
Jika
ditelusuri akar-akar pemikiran paham tingkah laku tersebut dimulai dari filsif
skeptic David James (1842-1910) yang menekan empirisme, voluntarisme, tindakan
–tindakan individual ,serta hubungan antara kesadaran dan tujuan.
Kecenderungan
umum terhadap proses belajar dari tindakan mengaitkan filsafat
dengan disiplin psikologi yang sedang bekembang menjadi usaha pencaharian
ilmiah yang dapat diamati dan terukur dalam mengamati tingkat laku, inilah yang
dinamakan behavioralisme yang dilontarkan oleh John B. Watson
(1878-1958). Menurutnya bahwa proses belajar terjadi sebagai hasil pengamatan
terhadap hubungan-hubungan antara dorongan dan tanggapan.
Instrumentakisme
behavioral seolah-olah memeberikan inspirasi baru mengenai kehidupan politik sebagai
cara belajar bermasyarakat yang dicapai melalui pengalamn
eksperimen-eksperimen. Apa yang diabaikan adalah polal pikir yang spekulatif.
Dengan
demiokian, kaum behavioralis bekerja dari bawah keatas. Teknik-teknik yang
mereka gunakan untuk menetapkan variable-varibel independent yang penting
meliputi analisis regresi, analisis factor , skala gutt man, analisis
indicator, dan ukuran-ukuran statistic lainnya. Mereka menggunakan data agregat
yang mengarah kepada penentuan hal-hal yang menonjol, atau vector-vertor yang
memperlihatkan arah perubahan.
- Paham Pluralism atau Kemajemukan
Paham ini
sebenarnya dibangun atas dasar perpaduan paham kelembagaan (institusionalisme)
dan paham tingkah laku (behavioralisme). Seperti paham institusionalisme,
pluralisme menekankan partisipasi partai sebagi penghubung anatar masyrakat
dengan pemerintah.
Paham ini
pun menekankan proses diatas struktur, serta lebih sedikit perhatiannya
terhadap bagiamana kerja badan-badan pemerintah, lehgislatif, dan
komite-komite, jika dibandingkan dengan bagaimana pembagian kekuasaan diantar
berbagai kelompok, baik public maupun swasta. Dari sudut ini politik pipandang
sebagai proses interaksi dimana warag ayang terlibat memengaruhi jalannya
kebijaksanaan.
- Paham Strukturalisme
Paham ini
berbeda jauh dengan pluralisme yang kajian politiknya bersifat kontemporer.
Sedangkan dalam paham strukturalisme ini sebenarnya kuarng dikenal dan lebih
kompleks dan bersifat interdisipliner. Paham ini berasal dari
linguistic, antropologi, filsafat, dan sosiologi (apter, 1996: 372).
Seperti kita
ketahui bahwa politik nasional maupun lokal, dalam asosiasi-asosiasi atau
birokrasi-birokrasi memiliki struktur. Jadi, strukturalisme pada hakekatnya
menyusun potensi fungsi-fungsi yang terdapat dalam politik seperti, informasi,
komunikasi dan agregrasi.
- Paham Developmentalisme (Perkembangan)
Kajian ini
mencakup suatu kemajuan kearah sasaran melalui pertumbuhan ekonomi. Jika
kaum intitusionalis menganggap evolusi demokrasi sebagai penanaman
ide-ide filosofis kemasyarakatan yang baik, demikian pula bagi kaum
developmentalis, akhir suatu periode perubaha merupakan bagian sejarah
Negara-negara industry ynag bersifat evolusioner, siklis maupun berulang. Bagi
seorang marxis ide dapat dikatakan bodoh, dimana developmentalisme
liberal menghasilkan kontrdiksi-kontradiksi kapitalis yang makin intensif,
melahirkan inferalismen (avineri, 1969). Akan tetapi, jika tujuan barat umumnya
adalah demokrasi liberal sedangkan bago kaum marxis tujuannya adalah masyarakat
tanpa Negara.
Dengan
demikian, dasar pemikiran developmentalisme, maupun janjinya teleology
pertumbuhan, merupakan sebuah ideologi. Teori unliniear menganggap perkembang
tidak terelakkkan. Dalam model unlinear, modernisasi adalah sebuah
proses. Menurut nash ( 1965: 5), terdapat empat metode dalam kajian
developmentalisme tersebut, yakni :
- Cara pertama adalah metode index:
Sifat-sifat
umum perkonomian yang telah maju diabstraksikan sebagai jenis ideal dan
kemudian dibandingkan dengan cirri-ciri tipikal yang sama idealnya dari
perekonomian masyarakat miskin.
- Cara kedua adalah pandangan akulturasi proses perkembangan barat mendifusikan pengetahuan, keahlian, organisasi, nilai-nilai, teknilogi, dan model bagi suatu bangsa miskin hingga dalam jangka waktu tertentu, kebudayaan dan personalianya menjadi sesuatu yang menjadikan komunitas atlantik secara ekonomi berhasil.
- Cara ketiga adalah analisis tehadap proses seperti yang kini sedang menguasai bangsa-bangsa yang dikatakan terbelakang. Pendekatan ini menjurus kepada hipotesis hipotesis berskala lebih kecil, hingga suatu pandangan retrospektif, dan suatu penilaian penuh terhadap konteks politik, social, dan cultural perkembangan.
Dibawah ini
tahap-tahap modernisasi, diantaranya:
Tahap A,
mewakili urbanisasi tahap pertama (agen modernisasi berada diluar). Tenaga
pendorong orisinal dapat merupakan suatu perusahaan character atau misi
penyebaran agama tertentu. Contohnya adalah Amerika latin dibawah kekuasaan
Spanyol.
Tahap B,
jauh lebih bercampur. Proporsi peran-peran inovatif lebih besar dan
para innovator mengembangkan institusi-institusi. Sebagai pengganti wakil resmi
tunggal dari kekuasaan colonial adalah birokrasi.
Tahap C,
proses itu lebih maju. Pemerintah colonial cenderung sangat menjadi partisipan,
dengan mendukukng kaum modera politik lokal dan membnetuk pembangunan politik
mengikuti model imperialis. Tanggapan-tanggapan sepeti itu pada gilirannya
merangsang organisasi-organisasi politik, gerakan-gerakan masa,
tuntutan-tuntutan bgai kemerdekaan yang lebih besar dan para pelopor lain
yang mengancam untuk mematahkan kekuasaan colonial.
Tahap D,
terjadi peralihan menuju kemerdekaan. Kemuadian proses itu mulai kembali lagi
dari semula dalam artian politik. Suatu keuntungan model ini adalah bahwa
iya dapat digunakan untuk mendokumentasikan morfologi pada pasca
kemerdekaan dan juga tahap-tahap colonial. Pada titk ini dalam sifat siklus
perkembangan, seluruh proses diperbaharui kembali, barangkali pada tinggkat
baru yang lebih tinggi, namun demikian tetap mengikuti model dasar yang
sama.
- F. KONSEP-KONSEP POLITIK
Yang
dikembangkan dalam pembelajaran yang dimaksud seperti kekuasaan, kedaulatan
kontrak sosial, negara, pemerintah, legitimasi oposisi, sistem politik,
demokrasi, pemilihan umum, partai politik, desentralisasi, persamaan,
demonstrasi, HAM, dam voting.
- 1. Kekuasaan
Kekuasaan
merujuk kepada kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk memengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok lain sehingga tingkah laku itu menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu
Menurut
Philip (2000: 820) terdapat tiga sumber utama dalam mendefinisikan kekuasaan
selalu ada perbedaan mendasar.
- Adanya perbedaan disiplin dalam ilmu-ilmu sosial yang menekankan perbedaan basis kekuasaan.
- Adanya perbedaan bentuk kekuasaan, seperti pengaruh, paksaan, dan kontrol.
- Adanya perbedaan penggunaan kekuasaan, seperti tujuannya untuk individu atau masyarakat, tujuan politik atau ekonomi.
Teori-teori
elit kekuasaan (mills, 1950) dengan menekankan kekuasaan sebagai bentuk
dominasi (Weber, 1978 [1972]).
- 2. Kedaulatan
Konsep-konsep
kedaulatan dapat dibedakan menjadi dua telaahan.
- Dilihat dari hukum tata negara, konsep kedaulatan mengacu kepada kekuasaan pemerintah negara yang tertinggi dan mutlak.
- Dilihat dari hukum internasional mengacu kepada kemerdekaan suatu negara terhadap negara-negara lain (Shadily, 1948: 1711).
Kemudian
ditinjau dari jenis ataupun bentuknya, ragam kedaulatan itu dapat dibedakan
menjadi tiga.
- Kedaulatan hukum
- Kedaulatan negara
- Kedaulatan rakyat
- 3. Kontrol Sosial
Konsep
kontrol sosial mengacu kepada pengaturan tingkah laku manusia oleh kekuatan
sosial yang dilakukan diluar pemerintahan untuk memelihara menurut hukum dan
aturan itu yang muncul didalam tiap-tiap masyarakat dan
institusi. Ada
beberapa teori-teori kontrol sosial :
- Teori Thomas Hobbes
- Teori John Locke
- Teori J.J. Rousseau
- 4. Negara
Negara
adalah integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dalam
kekuasaan politik, negara pun merupakan alat (agency) dari masyarakat
yang memiliki kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat untuk menertibkan fenomena kekuasaan dalam masyarakat. Terdapat dua
tugas negara yaitu:
- Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial ataupun bertentangan satu sama lain supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan.
- Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.
- 5. Pemerintahan
Rumusan
Finer (1974), istilah pemerintah dapat dibagi empat pengertian.
- Pemerintah yang mengacu kepada proses pemerintah, yakni pelaksanaan kekuasaan oleh yang berwenang.
- Istilah ini dapat pula dipakai untuk menyebut keberadaan proses itu sendiri kepada kondisi adanya tata aturan.
- Pemerintah acap kali berarti orang-orang yang mengisi kedudukan otoritas dalam masyarakat atau lembaga, artinya kantor atau jabatan-jabatan dalam pemerintahan.
- Istilah ini dapat pula mengacu kepada bentuk, metode, atau sistem pemerintahan dalam suatu masyarakat, yakni struktur dan pengelolaan dinas pemerintahan dan hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.
- 6. Legitimasi
Konsepnya
menunjuk kepada keterangan yang mengesakan atau membenarkan pemegang kekuasaan
meupun pemerintah adalah benar-benar orang yang dimaksud (secara hukum adalah
sah).
- 7. Oposisi
Konsepnya
merujuk kepada kelompok/partai penentang terhadap pemerintah resmi.
- 8. Sistem Politik
Konsepnya
merupakan suatu istilah yang mengacu kepada semua proses dan institusi yang
mengakibatkan pembuatan kebijakan publik.
Sistem
politik mencakup:
- Fungsi integrasi dan adaptasi
- Penempatan nilai-nilai dalam masyarakat
- Penggunaan wewenang atau kekuasaan
- 9. Demokrasi
Konsepnya
secara umum merupakan sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta
memerintah dengan perantara wakil-wakilnya.
- 10. Pemilihan Umum
Konsepnya
adalah suatu kegiatan politik untuk memilih atau menentukan orang-orang yang
duduk di dewan legislatif maupun eksekutif. Fungsi-fungsi pemilihan umum:
a.
Menentukan pemerintahan secara langsung maupun tak langsung.
b.
Sebagai wahana umpan balik antara pemilik suara dan pemerintah.
c.
Barometer dukungan rakyat terhadap penguasa,
d.
Sarana rekrutmen politik.
e.
Alat untuk mempertajam kepekaan pemerintah terhadap tuntutan rakyat.
- 11. Partai Politik
Konsepnya
mengacu kepada sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan
tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan. Secara
umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi dimana para
anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, cita-cita, serta perjuangan yang
sama.
- 12. Desentralisasi
Konsepnya
salam Ensiklopedi Indonesia (1948: 794) dikemukakan sebagai pemindahan hak-hak
pengaturan (bagian dari perundang-undangan) dan perintah dari badan penguasa
atasan terhadap yang lebih rendah.
- 13. Persamaan
Konsepnya
hampir melekat pada disiplin ilmu.
- 14. Demonstrasi
Konsepnya
secara umum memperlihatkan, memamerkan, menunjukan dan membuktikan, namun dalam
ilmu politik merupakan tindakan sekelompok orang yang bersama-sama menunjukan
dukungan maupun protes kolektif, baik itu ketidak puasan maupun
ketidaksetujuan.
- 15. Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut
Rosalyn Higgins, seorang yang tergabung dalam United Nations Committe on
Human Right, pengertian Hak Asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang
dimiliki oleh semua orang sesuai kondisi yang manusiawi.
- 16. Voting (Pemungutan Suara)
Istilah
voting merujuk pada suatu instrumen untuk mengekspresikan dan mengumpulkan
pilihan partai atau calon dalam pemilihan.
- G. GENERALISASI-GENERALISASI POLITIK
Generalisasi
merupakan pernyataan hubungan dua konsep atau lebih. Pernyataan tersebut boleh
terbentang dari yang sangat sederhana ke yang sangat kompleks. Kadang-kadang
mereka dikenal sebagai prinsip-prinsip atau hukum. Dari pernyataan tersebut
maka beneralisasi-generalisasi dalam ilmu politik sering dikembangkan di
tingkat pendidikan menengah berkaitan dengan konsep yang telah dibahas
sebelumnya, seperti di bawah ini.
- 1. Negara
Jika
pemimpin suat negara menyalahgunakan kekuasaan untuk melanggengkannya demi
kepentingan pribadi dengan berbagai tindakan yang sewenang-wenang, cepat atu
lambat akan datang gerakan massa yang tidak dapat dibendung sebagai respons
atas tindakan penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
- 2. Kedaulatan Rakyat
Meletusnya
revolusi Prancis 1789 nerupakan salah satu penyabab dominan yang disebabkan
raja-raja pranciss berkuasa secara absolut, dalam arti tidak adanya kedaulatan
rakyat Prancis yang dijunjung tinggi oleh pemerintah.
- 3. Kontrol Sosial
Dalam setiap
pemerintahan, institusi msyarakat maupun pemerintahan diperlukan suatu kontrol
sosial untuk memuahkan pengawasan jalannya suatu mekanisme perjanjian dan
pemerintahan yang telah disepakati.
- 4. Negara
Adanya
peraturan dan undang-undang dalam kehidupan bernegara, pada hakikatnya
dimaksudkan untuk menertibkan jalannya roda pemerintahan dengan tertib, aman,
dan berkesinambungan.
- 5. Pemerintahan
Pemerintahan
yang diktator sering menimbulkan suatu gerakan masyarakat bangsa untuk
melakukan suatu revolusi yang mengarahkan perlawanan terhadap rezim lama ketika
menekan kebebasan dan menentang pembaharuan.
- 6. Legimitasi
Sebenarrnya
di awal masa jabatannnya, Pemerintah Gus Dur memiliki legimentasi yang baik
untuk melaksanakan agenda reformasi Indonesia, mengingat ia memperoleh dukungan
mayoritas dari berbagai elite dan partai politik yang mendukungnya. Hanya saja
kerena ia sering nyeleneh dan keras kepala dengan seringnya melontarkan isu-isu
yang kurang perlu, bongkar pasang kabinet, mondar-mandir ke luar negeri, bahkan
tersandung dalam bulog-gate, popularitas pemerintahannya menjadi pudar, bahkan
berakhir secara tragis.
- 7. Oposisi
Tidak semua
partai oposisi itu buruk karana partai oposisi pun dapat menjadi penyeimbang
dalam kontrol atas mekanisme pemerintahan yang ada. Sebaliknya, tidak semua
partai oposisi baik kerena tidak sedikit partai oposisi terlahir hanya
didasarkan pertimbangan emosional atas kekalahannya dalam pemilahan umum yang
telah lalu.
- 8. Sistem Politik
Bagi
pemerintahan yang menganut sistem politik yang komunis maupun otoritarian, jelas
kebebasan rakyat terkekang. Hal itu akan berbeda dengan di negara-negara yang
menganut sistem liberal, seperti di negara-negara barat, kebebasan itu sangat
luas, termasuk kebebasan seksual di mana bagi kita hal itu perlu diatur dalam
undang-undang.
- 9. Demokrasi
Tidak semua
pemerintah yang demokrasi itu memiliki karakteristik universal kerana
nilai-nilai budaya suatu negara atau bangsa akan turut mewarnai budaya
politiknya. Dengan demikian, pemahaman mengenai pemerintahan yang demokrasi
sarat dengan pengaruh nilai-nilai suatu negara atau bangsa.
- 10. Pemilihan Umum
Pemilihan
umum merupakan salah satu indikator pemerintahan yang demokrasi. Sebab melalui
sarana pemilihan umum, aspirasi rakyat ataupun konstituen dapat diakomodir
dengan sistem pemilihan umum yang baik.
- 11. Partai Politik
Jika suatu
pemerintahan mengaku dirinya demokrasi, sementara partai politik dilarang
berdiri, hal itu dapat dimetaforakan sebagai seekor harimau yang dikebiri.
Ia tidak
dapat menikmati kehidupan yang bebas dan melakukan reproduksi, berarti sama
halnya dengan tidak dapat menumbuhkembang kehidupan demokrasi yang sejati yang
menghargai hak-hak asasi setiap pribadi.
- 12. Desentralisasi
Desentralisasi
menjadi keniscayaan dalam pemerintahan Indonesia masa kini, tanpa mengurangi
makna sebagai negara kesatuan. Sebab tanpa desentralisasi, berarti tidak ada
otonomi bagi daerah, segala sesuatunya masih bersifat sentralistik, dimana
kesenjangan antara pusat dan daerah akan menjadi semakin timpang.
- 13. Demonstrasi
Gerakan
demonstrasi mahasiswa Indonesia tidak pernah absen dalam perjuangan bangsa.
Dalam gerakan demonstrasi anti pemerinyahan Orde lama, KAMI merupakan motor
utama kegiatan-kegiatan angkatan “66” dan memainkan peran pokok dalam arena
politik berikutnya. Begitu pun dalam mengakhiri rezim orde baru yang otoritan,
beberapa tokoh reformis dan mahasiswa Indonesia berhasil menurunkan Jendral
Soeharto dari jabatannya kepresidennya melalui demonstrasi yang besar-besaran.
- 14. Persamaan
Dalam suatu
tatanan pemerintahan demokrasi, persamaan merupakan ide fundamental dalam asas
kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun selalu ada hierarki-hierarki yang
membedakan antar individu. Lagi pula selalu ada untuk mengimbangi bentuk
hierarki-hierarki itu. Untuk mengimbangi hierarki kekayaan, ada pajak
progresif. Umtuk mengimbangi hierarki status sosial dalam jabatan formal, ada
masa pensiun. Namun, tetap saja di balik persamaan tersebut memiliki beberapa
ketidaksamaan secara relatif.
- 15. Hak Asasi Manusia
Hak asasi
manusia tidak sekedar mencakup hak-hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, seperti yang tercantum dalam international
convenant on economic, sosial and cultural rights.
- 16. Voting
Pada
umumnya, sekarang pemungutan suara (voting) diberikan haknya kepada kaum
laki-laki maupun perempuan dewasa, baik itu dalam sistem pemilihan distrik
maupun proporsial.
- H. TEORI-TEORI ILMU POLITIK
Teori
politik merupakan enterprise dan jika di telusuri akar-akarnya memiliki
silsilah yang panjang dan istimewa. Sebagian teori telah memulai dengan
konsepsi tentang sifat manisia dan mempertanyakan pengaturan politik serta
social apa yang akan mengisi dengan baik kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan umat manusia. Sebagian lagi menafsirkan institusi-institusi
yang ada sebagai bagian dari pola keseluruhan sejarah perkembangan, baik
sebagai titik puncak dari perkembangan pranata, maupun sebagai tahapan
persinggahan yang di persiapkan untuk digantikan oleh sesuatu yang lain.
Sedangkan sebagian lagi, memulai dengan mempertanyakan apa jenis pengetahuan
yang mungkin dalam masalah-masalah politik, serta melanjutkan pada
masalah-masalah mempertahankan pengaturan institusi yang memberikan kekuasaan
kepada rakyat sesuai dengan proporsi kapasitas untuk menggunakannya demi
kebaikan masyarakat.
Teori
politik tersebut pada abad ke-20 mengalami perkembangan yang pesat, terutama
setelah terpengaruh oleh pemikiran positivism.
Terdapat
tiga bentuk penteorian dalam ilmu politik,yakni teori politik empiris,teori
politik formal, dan teori politik normative.
- Teori Politik Empiris
Biasanya
digunakan untuk mengacu kepada bagian-bagian teoretis ilmu politik. Para ahli
ilmu politik tertarik dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa politik
tertentu, sekaligus tertarik dalam mengembangkan teori-teori yang lebih luas
dalam satu satu paying politk.
- Teori Politik Formal
Merupakan
teori politik yang kadang –kadang dirasakan tumpang-tindih dengan teori-teori
pilihan public (Miller, 2002: 787). Istilah ini meminjam dari gagasan ilmu
ekonomi tentang pelaku-pelaku rasional yang berusaha mencapai
tujuan-tujuannya,kemudian mencoba mengembangkan model sistem politik dan
seolah-olah mereka tersusun dari pelaku-pelaku dalam berbagai peran
politik(politisi,birokrat,pemilih,dan lain-lain).
- Teori Politik Normatif
Merupakan
teori politik yang tetap paling dekat dengan enterprise tradisional,sejauh ia
berkenaan dengan justifikasi institusi dan kebijakan politik (Miller, 2002:
797). Tujuannyab adalah meletakan prinsip-prinsip otoritas,kebebasan,keadilan,dan
lain-lain. Selain itu, tugas teori politik menurut pandangan ini adalah
- Tercapai sebagian karena menjelaskan prinsip-prinsip itu sendiri. Tugas ahli teori tersebut menurut pandangan ini adalah menjelajah apa makna gagasan kebebasan dan kemudian menerapkannya pada masalah-masalah praktis.
- Sprektum itu berdiri di mana mereka memihak kepada beberapa bentuk fondasionalisme, dimana pandangan tersebut adalh mungkinuntuk menemukan landasan tujuan dalam mendukung prinsip-prinsip politik yang mendasar. Kelompok yang menonjol disini adalah berbagai versi teori politik kontraktarian. Kelompok ini berpendapat bahwa ada seperangkat prinsip politik dasar yang semua orang rasional akan sependapat terhadap kondisi tertentu yang sesuai.
BAB III
KESIMPULAN
Ilmu politik adalah cabang ilmu sosial
yang membahas teori dan praktik politik
serta deskripsi dan analisa sistem politik
dan perilaku politik. Ilmu ini berorientasi akademis, teori, dan riset.
Ilmuwan
politik mempelajari alokasi dan transfer kekuasaan dalam pembuatan keputusan,
peran dan sistem pemerintahan termasuk pemerintah dan organisasi internasional,
perilaku politik dan kebijakan publik. Mereka mengukur keberhasilan
pemerintahan dan kebijakan khusus dengan memeriksa berbagai faktor, termasuk stabilitas,
keadilan, kesejahteraan material, dan kedamaian. Beberapa ilmuwan politik
berupaya mengembangkan ilmu ini secara positif dengan melakukan analisa
politik. Sedangkan yang lain melakukan pengembangan secara normatif dengan
membuat saran kebijakan khusus.
Studi
tentang politik diperumit dengan seringnya keterlibatan ilmuwan politik dalam
proses politik, karena pengajaran mereka biasanya memberikan kerangka pikir
yang digunakan komentator lain, seperti jurnalis, kelompok minat tertentu,
politikus, dan peserta pemilihan umum untuk menganalisis permasalahan dan
melakukan pilihan. Ilmuwan politik dapat berperan sebagai penasihat untuk
politikus tertentu, atau bahkan berperan sebagai politikus itu sendiri. Ilmuwan
politik dapat terlihat bekerja di pemerintahan, di partai politik, atau memberikan pelayanan publik.
Mereka dapat bekerja di Lembaga Swadaya
Masyarakat
(LSM) atau pergerakan politik. Dalam berbagai kapasitas, orang yang dididik dan
dilatih dalam ilmu politik dapat memberi nilai tambah dan menyumbangkan
keahliannya pada perusahaan. Perusahaan seperti wadah pemikir (think-tank), institut riset,
lembaga polling dan hubungan masyarakat sering mempekerjakan ilmuwan
politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar