ANTROPOLOGI
POST MODERNISME
POST MODERNISME
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini telah memungkinkan masyarakat
dunia hidup dalam era informasi global. Proses
komunikasi yang dipercepat
dan penyebaran informasi bagaikan kilat,yang menjadi ciri masyarakat baru ini, menyebabkan keberadaan teknologi
komunikasi dan informasi menjadi bersifat mutlak, di dalam
masyarakat informasi dan komunikasi global,perbincangan mengenai apa yang
disebut dengan tanda (sign) yaitu
sebagai suatu unsur penting dalam bahasa dan komunikasi. Semiotika yang
berarti ilmu tentang tanda, mendapatkan
tempat khusus dalam wacana sosial
dan akademis dalam masyarakat informasi. Meskipun
semiotika bukan lah satu ilmu baru setidak-tidaknya ia telah diperbincangkan
sejak era filsafat yunani (kata
semiotika berasal dari bahasa yunani semeion yang berarti tanda).
Antropologi adalah disiplin empiris. Aspek empiris adalah
landasan prinsipil dari antropologi yang sangat tergantung pada penelitian dan
deskripsi etnografik dan menolak reduksionisme (clifford,1988). Dalam karya
klasik 1973, The Thick Description:
Towards an interpretative of Culture, Clifford Geetz menyatakan bahwa
analisis kebudayaan yang dalam hal ini ia samakan denga antropologi bukanlah
ilmu ekspermental dalam upaya menemukan hukum melainkan suatu kajian
interpretif dalam upaya menemukan maknan(Geertz, 1973:5). Dalam lingkup yang
lebih luas, antropologi menjadi semacam penghubung sekat-sekat pembagian di
antara ilmu-ilmu sosial dan humanitas, membentang dengan susah payah) antara
pendekatan eksporasi eksplanatoris positivistik dengan fenomena sosial budaya,
da eksplorasi penuh empati terhadap
makna.
Gagasan antropologi adalah berbasis empiris yang sering
sekali dipengaruhi oleh warga masayarakat yang ia pelajari. Oleh karena
epistemologi antropologi mengandung dua aspek yakni antropologi sebagai suatu
profesi dan bidang akademik, dan warga masyarakat yang dikaji oleh antropolog
disiplin ini terus menghadapi kesukaran yakni untuk memisahkan keduanya.Menjelang
akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21, semakin jelas bahwa dunia berubah, tak
hanya kuantitas, tetapi juga kualitas. Masyarakat manusia terus bergerak
kedalam satu fase sejarah.
Banyak pengamat berpendapat bahwa post modernisme adalah
suatu masa kiamat yang datang perlahan-lahan( Barthes, 1989). Post modernisme
mereka anggap teka teki yang mengganggu (Foucault, 1984:39). Bagi sebagian
orang post modernisme adalah budaya panik, panik seks, panik seni, panik
identitas, panik tubuh, panik teori, dan sebagainya (Kroker dan Cook,1988:1)
Menurut sebagian teoretisi sosial kotemporer post
modernisme mendorong meningkatnya ketidak pastian cara yang tepat dalam
memaparkan realitas sosial, merosotnya kepercayaan atas paradigma ilmia yang
ada dan rasa keraguan yamh mendalam terdapap metanaratif(
liberalisme,marxisme,freudianisme dan sebagainya0 yang merupakan karakter
ilmu-ilmu kemanusiaan pada abad ke 20. Kondisi ini mencerminkan dislokasi yang
lebih umum dalam wacana rasionalisme pencerahan, dipicu lebih jauh kritik-kritik
kers terhadap warisan kolonial, terutama dari Asad(1973) dan Said(1978,1993).
Berhadapan dengan ketidak pastian yang melemahkan ini,
respon antropolog beragam. Sebagian dari mereka mengoreksi kedalam, berupaya
melakukan refleksi, meninjau kembali cara-cara yang mereka gunakan dalam menganalisis teks-teks ilmiah sosial,
khususnya penulisan etnografi, sebagian masalah sentral dari disiplin ini.
Sebagian lagi berpikir apakah antropologi memang akan pernah benar-benar
mempresentasikan kebudayaan asing, atau apakah wacana antropologi akan terjebak
dalam penilaian yang berlebihan, tawanan citra otoritatifnya sendiri dan
protokol-protokol lingguistiknya sendiri yang tidak bisa mereka lepaskan
(Clifford dan Mascus, 1986). Jadi arus post modernisme telah mendorong terjadinya insekuritas kronis
dan keraguan diri sendiri mengenai legitimasi karya antropologi.
Antropologi sosial budaya akan terpinggirkan kecuali jika
disiplin ini mampu mengadaptasi perubahan dunia yang kini mengancam
kelangsungan teori-teori, metode-metode, dan praktik-praktik antropologi. Ini
berarti bahwa antropolog harus mengevakuasi kembali objek-objek konvensional
kajiannya dan mengembangkan ranah dan metode pengkajian yang baru dan
kekuatan-kekuatan sosial yang baru, yang tumbuh di dunia modern kotemporer.
Hal ini berarti bahwa antropologi harus bersentuhan
dengan isu-isu dan masalah-masalah publik yang lebih luas dan berkomunikasi
dengan kalangan komunitas akademik yang lebih luas. Antropologi sebagai suatu
disiplin yang hingga kini tampaknya masih terikat dengan hal-hal eksotik,
masyarakat berskala kecil, dan masyarakat yang sedang dalam proses punah harus
dilengkapi dengan perhatian yang lebih besar terhadap dunia yang terus
berkembang. Metode-metode kajian lapangan tradisional harus diperbarui dan
diperlengkapi dengan pemikiran, stategi, dan teknik-teknik baru agar relevan
dengan masalah-masalah sosial yang baru dalam masyarakat lokal maupun global.
Semenjak tahun 1970 an ketika gelombang pemikiran
modernisme memasuki dunia antropologi, konsep-konsep dan metode baru yang
terkait dengan kompleksitas masyarakat nontribal masyarakat non petani. Pada
tahap-tahap awal dari sejarah perkembangannya antropologi lebih suka
menyebutkan dalam konteks stabilitas dan kesinambungan,dan berusaha menggolongkan
dan menganaliss ras-ras, adat istiadat ,kebudayaan dann struktur sosial yang dianggap sebagai
enttita tertentu.bahkan paradiagma evolusioner yang berdasarkan pada suatu
teori perubahan yang mengonsepsikan kemajuan sebagai perubahan yang lambat
sehingga hanya dapat diketahui dalam
popolasi manusia dengan cara membandingkajn berbagai tahap sebagai
entitas yang memiliki perbedaan yang jelas.
Ada beberpa alasan sejarah mengapa antropologi yang berkembang
demikian itu berasumsi bahwa kelompok dan unsur-unsur kebudayaan yang di
kajinya berada dalam keadaan equilibrium atau sekurang-kurangnya stabil dalam
jangka panjang.
Semiotika subversive
postrukturalisme
Ferdinand
de Saussure di dalam filsafat bahasanya meninjau
tentang struktur yang membentuk sistem bahasa. Strukturalisme
sebagaimana yang tersirat pada namanya, menaruh
perhatian pada pengungkapan struktur berbagai aspek penalaran dan tingkah laku manusia
termasuk bahasa. Hakikat
filsafat strukturalisme bahwa ia tidak pernah menaruh perhatian pada mekanisme
sebab akibat, melainkan pada
mekanisme yang didalamnya satu totalitas
yang kompleks dapat dipahami sebagai satu perangkat unsur-unsur yang saling
berkaitan.
Derrida dan semiotika dekonstruktif
Kecenderungan Saussure dalam konsep bahasanya untuk bergantungan pada referensi dan makna yang ada mendahului sebuah penanda dipandang
oleh Derrida sebagai satu kecenderungan
yang dogmatis dan tak kreatif dalam wacana bahasa yang
menutup peluang-peluang bagi penafsiran baru. Kecendrungan
bahasa ini di pandang bersifat logosentris yakni kecendrungan untuk bergantung
pada jaminan makna dan kebenaran fundamental, prinsipil, inti atau tunggal (ideologis,teologis,mitologis).
Derrida membedakan antara dua
pandangan tentang tafsiran. Pertama, tafsiran restropektif yaitu upaya-upaya bagi rekonstruksi
makna atau kebenaran asli atau
awal. Kedua, tafsiran prospektif, yaituyang secara eksplisit menerima
ketidakpastian makna.
Semiotika dan revolusi bahasa
Lewat obsesi yang sama dengan
Derrida yakni melepaskan bahasa
dari control social dan logos. Julia
Kristeva melalui semiotika revolusionernya mengembangkan kemunkinan
bentuk-bentuk pelanggaran, subversi, dan kreatifitas anti social dalam
bahasa.
Kristeva membedakan antara dua
praktik pembentukan makna dalam wacana
yaitu 1) signifikasi, yaitu makna yang dilembagakan dan
dikontrol secara social. 2) significance, yaitu makna yang subversive dan kreatif.
Semiotika dan penjelajahan
spiritual
Dalam
hal ini sebenarnya yang perlu ditolak bukanlah
media, bukan pula semiotika itu sendiri (bahkan semiotika dekonstruktif) yang perlu ditolak pada media dan
semiotika khususnya adalah sifat anarkisnya yang tak bertanggung jawab, sebab apabila madia atau semiotika itu
sendiri yang ditolak, maka
penolakan ini menjadikan kita tidak berdaya dalam menghadapi perkembangan
teknologi komunikasi dan informasiyang semakin canggih.
Tugas
seorang cendikiawan adalah menjadikan semiotika sebagai suatu metode untuk
meenegakkan mana
yang haqq dan yang bathil. Tugas
ahli semiotika yang bernapaskan spiritual
adalah membangun tanda-tanda baru yang
kreatif dan dinamis unntuk merefleksikan pesan-pesan spiritual atau kegamaan
dalamberbagai wacana media,tanpa terjebak oleh sifat anarkis.
Postmodernisme dipengaruhi oleh linguistik struktural.
James Clifford mengemukakan bahwa dalam persfektif postmodernisme kebudayaan
tidak dimiliki bersama tetapi jamak, manusia mempunyai ciri khas tertentu.
Postmodernisme anti sistem, tidak ada keteraturan karena prinsip postmodernisme
adalah celebration of diversity yaitu
merayakan keberagaman. Kebudayaan itu mencair sehingga lahir
perbedaan-perbedaan dan menyebabkan tiap-tiap individu memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda, sehingga tidak akan muncul kebudayaan yang sama di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar