TINGGALKAN KOMENTAR DAN ARGUMEN ANDA,TERIMA KASIH

Sabtu, 07 Desember 2013

ANTROPOLOGI POST MODERNISME POST MODERNISME



ANTROPOLOGI POST MODERNISME
POST MODERNISME

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini telah memungkinkan masyarakat dunia hidup dalam era informasi global. Proses komunikasi yang dipercepat dan penyebaran informasi bagaikan kilat,yang menjadi ciri masyarakat baru ini, menyebabkan keberadaan teknologi komunikasi dan informasi menjadi bersifat mutlak, di dalam masyarakat informasi dan komunikasi global,perbincangan mengenai apa yang disebut dengan tanda (sign) yaitu sebagai suatu unsur penting dalam bahasa dan komunikasi. Semiotika yang berarti ilmu tentang tanda, mendapatkan tempat khusus dalam wacana sosial dan akademis dalam masyarakat informasi. Meskipun semiotika bukan lah satu ilmu baru setidak-tidaknya ia telah diperbincangkan sejak era filsafat yunani (kata semiotika berasal dari bahasa yunani semeion yang berarti tanda).
Antropologi adalah disiplin empiris. Aspek empiris adalah landasan prinsipil dari antropologi yang sangat tergantung pada penelitian dan deskripsi etnografik dan menolak reduksionisme (clifford,1988). Dalam karya klasik 1973, The Thick Description: Towards an interpretative of Culture, Clifford Geetz menyatakan bahwa analisis kebudayaan yang dalam hal ini ia samakan denga antropologi bukanlah ilmu ekspermental dalam upaya menemukan hukum melainkan suatu kajian interpretif dalam upaya menemukan maknan(Geertz, 1973:5). Dalam lingkup yang lebih luas, antropologi menjadi semacam penghubung sekat-sekat pembagian di antara ilmu-ilmu sosial dan humanitas, membentang dengan susah payah) antara pendekatan eksporasi eksplanatoris positivistik dengan fenomena sosial budaya, da eksplorasi  penuh empati terhadap makna.
Gagasan antropologi adalah berbasis empiris yang sering sekali dipengaruhi oleh warga masayarakat yang ia pelajari. Oleh karena epistemologi antropologi mengandung dua aspek yakni antropologi sebagai suatu profesi dan bidang akademik, dan warga masyarakat yang dikaji oleh antropolog disiplin ini terus menghadapi kesukaran yakni untuk memisahkan keduanya.Menjelang akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21, semakin jelas bahwa dunia berubah, tak hanya kuantitas, tetapi juga kualitas. Masyarakat manusia terus bergerak kedalam satu fase sejarah.
Banyak pengamat berpendapat bahwa post modernisme adalah suatu masa kiamat yang datang perlahan-lahan( Barthes, 1989). Post modernisme mereka anggap teka teki yang mengganggu (Foucault, 1984:39). Bagi sebagian orang post modernisme adalah budaya panik, panik seks, panik seni, panik identitas, panik tubuh, panik teori, dan sebagainya (Kroker dan Cook,1988:1)
Menurut sebagian teoretisi sosial kotemporer post modernisme mendorong meningkatnya ketidak pastian cara yang tepat dalam memaparkan realitas sosial, merosotnya kepercayaan atas paradigma ilmia yang ada dan rasa keraguan yamh mendalam terdapap metanaratif( liberalisme,marxisme,freudianisme dan sebagainya0 yang merupakan karakter ilmu-ilmu kemanusiaan pada abad ke 20. Kondisi ini mencerminkan dislokasi yang lebih umum dalam wacana rasionalisme pencerahan, dipicu lebih jauh kritik-kritik kers terhadap warisan kolonial, terutama dari Asad(1973) dan Said(1978,1993).
Berhadapan dengan ketidak pastian yang melemahkan ini, respon antropolog beragam. Sebagian dari mereka mengoreksi kedalam, berupaya melakukan refleksi, meninjau kembali cara-cara yang mereka gunakan  dalam menganalisis teks-teks ilmiah sosial, khususnya penulisan etnografi, sebagian masalah sentral dari disiplin ini. Sebagian lagi berpikir apakah antropologi memang akan pernah benar-benar mempresentasikan kebudayaan asing, atau apakah wacana antropologi akan terjebak dalam penilaian yang berlebihan, tawanan citra otoritatifnya sendiri dan protokol-protokol lingguistiknya sendiri yang tidak bisa mereka lepaskan (Clifford dan Mascus, 1986). Jadi arus post modernisme  telah mendorong terjadinya insekuritas kronis dan keraguan diri sendiri mengenai legitimasi karya antropologi.
Antropologi sosial budaya akan terpinggirkan kecuali jika disiplin ini mampu mengadaptasi perubahan dunia yang kini mengancam kelangsungan teori-teori, metode-metode, dan praktik-praktik antropologi. Ini berarti bahwa antropolog harus mengevakuasi kembali objek-objek konvensional kajiannya dan mengembangkan ranah dan metode pengkajian yang baru dan kekuatan-kekuatan sosial yang baru, yang tumbuh di dunia modern kotemporer.
Hal ini berarti bahwa antropologi harus bersentuhan dengan isu-isu dan masalah-masalah publik yang lebih luas dan berkomunikasi dengan kalangan komunitas akademik yang lebih luas. Antropologi sebagai suatu disiplin yang hingga kini tampaknya masih terikat dengan hal-hal eksotik, masyarakat berskala kecil, dan masyarakat yang sedang dalam proses punah harus dilengkapi dengan perhatian yang lebih besar terhadap dunia yang terus berkembang. Metode-metode kajian lapangan tradisional harus diperbarui dan diperlengkapi dengan pemikiran, stategi, dan teknik-teknik baru agar relevan dengan masalah-masalah sosial yang baru dalam masyarakat lokal maupun global.
Semenjak tahun 1970 an ketika gelombang pemikiran modernisme memasuki dunia antropologi, konsep-konsep dan metode baru yang terkait dengan kompleksitas masyarakat nontribal masyarakat non petani. Pada tahap-tahap awal dari sejarah perkembangannya antropologi lebih suka menyebutkan dalam konteks stabilitas dan kesinambungan,dan berusaha menggolongkan dan menganaliss ras-ras, adat istiadat ,kebudayaan  dann struktur sosial yang dianggap sebagai enttita tertentu.bahkan paradiagma evolusioner yang berdasarkan pada suatu teori perubahan yang mengonsepsikan kemajuan sebagai perubahan yang lambat sehingga hanya dapat diketahui dalam  popolasi manusia dengan cara membandingkajn berbagai tahap sebagai entitas yang memiliki perbedaan yang jelas.
Ada beberpa alasan sejarah mengapa antropologi yang berkembang demikian itu berasumsi bahwa kelompok dan unsur-unsur kebudayaan yang di kajinya berada dalam keadaan equilibrium atau sekurang-kurangnya stabil dalam jangka panjang.
Semiotika subversive postrukturalisme
Ferdinand de Saussure di dalam filsafat bahasanya meninjau tentang struktur yang membentuk sistem bahasa. Strukturalisme sebagaimana yang tersirat pada namanya, menaruh perhatian pada pengungkapan struktur berbagai aspek penalaran dan tingkah laku manusia termasuk bahasa. Hakikat filsafat strukturalisme bahwa ia tidak pernah menaruh perhatian pada mekanisme sebab akibat, melainkan pada mekanisme yang didalamnya satu totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu perangkat unsur-unsur yang saling berkaitan.
Derrida dan semiotika dekonstruktif
Kecenderungan Saussure dalam konsep bahasanya untuk bergantungan pada referensi dan makna yang ada mendahului sebuah penanda dipandang oleh Derrida sebagai satu kecenderungan yang dogmatis dan tak kreatif dalam wacana bahasa yang menutup peluang-peluang bagi penafsiran baru. Kecendrungan bahasa ini di pandang bersifat logosentris yakni kecendrungan untuk bergantung pada jaminan makna dan kebenaran fundamental, prinsipil, inti atau tunggal (ideologis,teologis,mitologis).
            Derrida membedakan antara dua pandangan tentang tafsiran. Pertama, tafsiran restropektif yaitu upaya-upaya bagi rekonstruksi makna atau kebenaran asli atau awal. Kedua, tafsiran prospektif, yaituyang secara eksplisit menerima ketidakpastian makna.
Semiotika dan revolusi bahasa
            Lewat obsesi yang sama dengan Derrida yakni melepaskan bahasa dari control social dan logos. Julia Kristeva melalui semiotika revolusionernya mengembangkan kemunkinan bentuk-bentuk pelanggaran, subversi, dan kreatifitas anti social dalam bahasa.
            Kristeva membedakan antara dua praktik pembentukan makna  dalam wacana yaitu 1) signifikasi, yaitu makna yang dilembagakan dan dikontrol secara social.  2)  significance, yaitu makna yang subversive dan kreatif.
Semiotika dan penjelajahan spiritual
Dalam hal ini sebenarnya yang perlu ditolak bukanlah media, bukan pula semiotika itu sendiri (bahkan semiotika dekonstruktif) yang perlu ditolak pada media dan semiotika khususnya adalah sifat anarkisnya yang tak bertanggung jawab, sebab apabila madia atau semiotika itu sendiri yang ditolak, maka penolakan ini menjadikan kita tidak berdaya dalam menghadapi perkembangan teknologi komunikasi dan informasiyang semakin canggih.
Tugas seorang cendikiawan adalah menjadikan semiotika sebagai suatu metode untuk meenegakkan mana yang haqq dan yang bathil. Tugas ahli semiotika  yang bernapaskan spiritual adalah membangun tanda-tanda  baru yang kreatif dan dinamis unntuk merefleksikan pesan-pesan spiritual atau kegamaan dalamberbagai wacana media,tanpa terjebak oleh sifat anarkis.
Postmodernisme dipengaruhi oleh linguistik struktural. James Clifford mengemukakan bahwa dalam persfektif postmodernisme kebudayaan tidak dimiliki bersama tetapi jamak, manusia mempunyai ciri khas tertentu. Postmodernisme anti sistem, tidak ada keteraturan karena prinsip postmodernisme adalah celebration of diversity yaitu merayakan keberagaman. Kebudayaan itu mencair sehingga lahir perbedaan-perbedaan dan menyebabkan tiap-tiap individu memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, sehingga tidak akan muncul kebudayaan yang sama di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar